Lokakarya Nasional di IAKN Manado Hadirkan Narasumber Ketua PGI, Ketua PGLII, Sekum PGPI, Prof. John Titaley dan Dr. Andreas Yewangoe

Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado menjadi tuan rumah pelaksanaan Lokakarya Nasional Akademisi dan Pimpinan Gereja Aras Nasional – Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia (Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI). Kegiatan dilaksanakan mulai dari tanggal 21-23 Desember 2022.

Sesi pertama Lokakarya dipandu oleh Konvener Binsar Pakpahan dari STFT Jakarta dan membahas tentang “Menuju Kehebatan Indonesia di Panggung Dunia : Menata Arah Kebijakan Ditjen Bimas Kristen Bidang Agama”.

Pdt. Gomar Gultom, M.Th (Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) saat pemaparan materi menjelaskan bahwa ada perbedaan antara Gereja dan Sekolah Tinggi Teologia (STT).

“Gereja tidak ada kewajiban untuk memungut biaya rutin, gereja tidak menjanjikan gelar akademis tetapi Sekolah Tinggi Teologia memungut biaya dari masyarakat dan menjanjikan gelar akademis. Oleh karena itu, negara harus
mengatur dan perlu ditertibkan.” Tutur Ketua PGI.

Ketua PGI juga menyampaikan bahwa sinode baru tidak ada yang dapat melarang dan tugas negara adalah mendaftarkannya. Soal pendaftaran untuk membutuhkan kepastian hukum dan pendaftaran gereja berdasarkan aturan yang lisensinya dipegang oleh Kementerian Agama.

“Kalau mengajak saudara kita untuk tetap hidup secara substansial, jauh dari dogmatisme dan legalisme beragama, kita sendiri sebagai gereja harus memulai dari diri kita. Kalau dapat terjadi demikian maka peradaban dunia di masa depan akan menjadi lebih baik.” Tutup Ketua PGI.

Selanjutnya, Pdt. Dr. Ronny Mandang (Ketua Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia) memaparkan materi tentang Indonesia Panggung Toleransi Dunia.

“Menyambung apa yang disampaikan Ketua PGI, kami juga dari PGLII berpikir tentang pemikiran dari Philip Jempkins yang dikenal dengan The Next Christian Dome menjelaskan bahwa peradaban keKristenan 4 abad yang lalu sudah mulai redup dan dunia ditentukan oleh 3 (tiga) hal yakni supremasi negara barat, radikalisme dan intoleran. ketiga hal ini menjadi warna yang sampai hari ini tidak pernah pudar di dunia.” Tutur Ketua PGLII.

Ketua PGLII juga menjelaskan bahwa moderasi beragama itu tidak lagi bicara soal toleransi, tetapi bagaimana kita bisa merayakan keperbedaan dalam bingkai moderasi beragama di Indonesia.

“Logo itu harus mencerminkan mayoritas dari sebuah agama. Karena itu saya mengatakan kepada bapak Menteri Agama, beranikah bapak mengubah logo dari Kementerian Agama didesain baru menjadi sebuah logo yang bisa dipahami oleh seluruh unsur agama dan kita menangkap disana ada yang namanya Moderasi Beragama.” Tutup Ketua PGLII.

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia dalam pemaparan materinya juga menjelaskan bahwa Indonesia dengan berbagai keragamannya memiliki kurang lebih 1300 Yasuku, 2500 bahasa daerah, 6 agama, tahun 2021 dengan jumlah penduduk kurang lebih 276,4 juta.

“Keragaman ini akibat dari kondisi wilayah Indonesia, berbagai suku bangsa budaya agama dan adat istiadat, sehingga perbedaan ini tentu kalau tidak diolah dengan baik akan memberikan dampak negatif (terjadi perpecahan bangsa dan negara). Tetapi, jika diolah dengan baik akan memberikan dampak positif yang akan memberikan perkembangan dan kemajuan.” Ucap Sekum.

Menurut Sekum, Tolerasi adalah menghargai setiap tindakan manusia secara umum. Indonesia memang cocok disebut panggung toleransi yang ada di dunia.

“Indonesia dapat menjadi model keberagaman yang harmonis. Jiwa toleransi dan dan ragam budaya serta tradisi di Indonesia harus terus dilestarikan, dikemas dalam tampilan yang lebih kreatif, inovatif dan profesional.” Tutup Sekum.

Di sesi pertama ini, Jhonson Parulian Hotua (Bagian Hukum Ditjen Bimas Kristen) juga ikut menyajikan beberapa data mengenai konflik-konflik dan penyelesaian masalah-masalah gereja yang terjadi di Indonesia.

Prof. Jhon Titaley (Akademisi dan Tokoh Gereja) sebagai narasumber juga memberikan fokus percakapan pada satu kutipan Jhon Cook Jr. (Seorang Teolog – Teologi Proses) bahwa kalau menjadi Kristen berarti kepatuhan tanpa batas terhadap bentuk keKristenan yang pernah ada, saya tidak bisa menjadi seorang Kristen, sesungguhnya kepatuhan seperti itu tidaklah Kristen sama sekali, itu adalah penyembahan berhala dan tidak beriman, itu sama dengan memutlakkan yang relatif dan menolak mendengar panggilan Kristus yang hidup, tetapi penyembahan sempurna kepada Kristus yang hidup sebagaimana Kristus memanggil kita untuk ditransformasikan oleh semua kemungkinan yang diberikan Tuhan dalam waktu tertentu, itu bukan penyembahan berhala, itulah keKristenan yang sejati.

“Indonesia sudah menyelesaikan persoalan ekslusivisme agama, Presiden Soekarno sudah menunjukkan Inklusivisme. Karena situasi Indonesia itulah terbuka peluang kita beragama secara manusiawi dengan menghargai satu dengan lain secara setara. Republik yang didirikan dibangun atas dasar kesetaraan semua manusia, sehingga Indonesia punya hak untuk memilih Presiden. itulah seharusnya kita belajar sejarah bergereja di Indonesia.” Tutup. Prof. Jhon Titaley.

Dr. Andreas Yewangoe (Akademisi dan Tokoh Agama) yang juga sebagai narasumber menjelaskan bahwa moratorium pendirian sinode baru tidak bisa dilakukan oleh siapapun. Alasannya, ada aspek kepercayaan dan keyakinan bahwa berdirinya sebuah Gereja atau lembaga adalah pekerjaan Roh Kudus.

“Saya harap interpretasi terhadap agama dari kita hidup. Kemudian, catatan mengenai STT perlu adanya perhatian, saya melihat marak studi doktor dimana-mana dan sepertinya agak mudah diberikan padahal untuk studi doktor dassarnya harus kuat dari bawah (S1 dan S2 harus jelas). Tentu kita mengharapkan banyak doktor di Indonesia tetapi saya kira tidak hanya banyak melainkan bermutu, sehingga mereka betul-betul bisa berbicara di forum manapun”. Tutup Dr. Andreas Yewangoe.*DOP

Facebook 
Instagram
Kementerian Agama 
Website IAKN Manado

Categories: Berita IAKN, News