Khotbah Reflektif Filipi 2:1-4

Hari ini media sosial seolah berdandan dengan slogan-slogan pancasilais. semua orang diajak untuk ber-jasmerah. Entah untuk menunjukan eksistensinya sebagai seorang nasionalis atau sekedar berhiprokrosi, entahlah tapi yang jelas besok merupakan hari besar dalam sejarah negeri ini, hari dimana pancasila dicetuskan sebagai diksi untuk mendeskripsikan kontrak sosial anak-anak bangsa guna membentuk tatanan kehidupan bersama dalam kebinekaan. Kebersamaan dipilih menjadi nadi karena dianggap dapat membentengi diri sekaligus memeberikan kekuatan dalam menaklukan berbagai prahara. Namun akhir-akhir ini semangat kebersamaan mulai usang dimakan zaman. Laju digitalisasi mendorong sikap individualistik dan persaingan antar pribadi serta dominasi-dominasi kelas. Lantas apakah kebersamaan telah kehilangan daya magisnya?, atau kita yang telah alpa dalam merelevansikan wujudnya?

Kebersamaan sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan dan persoalan. Namun sayangnya, justru menjaga kebersamaanlah yang sering menjadi masalah. Lantas Bagaimana memelihara kebersamaan? Atas dasar apa kita memeliharanya? Dua pertanyaan ini akan dijawab melalui pembacaan kita hari ini. Yang terambil dalam Filipi 2:1-4.

Topik tentang kebersamaan sudah disinggung oleh Paulus di akhir pasal 1. Dia menasihati jemaat Filipi untuk teguh berdiri dalam satu roh dan bersama-sama berjuang bagi Injil (1:27). Di tengah ancaman yang datang dari luar berupa penganiayan (1:28-30) jemaat Filipi perlu saling menguatkan melalui kebersamaan.

Kebersamaan juga diperlukan ketika menghadapi bahaya dari dalam. Pertikaian selalu siap menghadang dan para pemimpin juga tidak kebal terhadap bahaya pertengkaran. Situasi ini mungkin sudah mulai muncul di antara jemaat Filipi, sehingga Paulus perlu mengingatkan beberapa pemimpin di sana untuk bersatu (4:2).

Kebersamaan yang dimaksud bersifat holistik. Bukan hanya eksternal, tetapi juga internal. Bukan hanya mencakup hati dan jiwa, tetapi juga pemikiran dan tujuan. Bukan sekadar ikatan emosional, tetapi juga kesadaran intelektual. Bukan hanya karena kebiasaan, tetapi karena disatukan oleh tujuan.

Yang menarik, Paulus mengaitkan ini dengan dirinya; secara khusus dengan sukacitanya (ayat 2a). Ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah Paulus egosentris dan egois. Sama sekali tidak! Kita perlu memahaminya dalam konteks keintiman hubungan antara Paulus dan jemaat Filipi. Jemaat Filipi selalu mengambil bagian dalam pelayanan Paulus (1:5; 2:25; 4:10, 14-16). Paulus sendiri selalu memikirkan jemaat Filipi dan bersukacita karena mereka (1:4). Dia berharap bisa dibebaskan dari penjara dan bersama-sama dengan jemaat Filipi lagi sehingga mereka bisa bertambah maju dalam iman dan sukacita (1:25). Kedekatan inilah yang sedang dimaksimalkan oleh Paulus. Dia sedang menambahkan muatan personal yang emosional dalam nasihatnya. Jika kedekatan bisa memuliakan Tuhan, mengapa hal itu tidak dimanfaatkan dan dimaksimalkan? Bukankah kita juga lebih mudah menaati nasihat dari orang lain yang kita percayai atau dekat dengan kita?

Walaupun demikian, Paulus tetap tidak mau menyandarkan sukacitanya pada kedekatan dengan jemaat. Dia tidak berkata: “buatlah aku bersukacita”. Dia hanya berkata: “sempurnakanlah sukacitaku”. Kalimat ini menyiratkan bahwa Paulus sudah memiliki sukacita. Di situasi seperti apapun dia tetap bersukacita. Hanya saja, sukacita itu akan menjadi genap apabila dia melihat orang-orang yang dia kasihi semuanya berada dalam kebersamaan. Dan yang menjadi Dasar kebersamaan bukan pimpinan, melainkan Tuhan; bukan kedekatan, melainkan karya penebusan. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Kristus menjadi alasan bagi apa yang kita seharusnya lakukan. Teologi melandasi budi pekerti. Ortodoksi mendasari ortopraksi.

Paulus mengatakan: “jadi karena di dalam Kristus ada nasihat…dst” (LAI:TB). Dalam teks Yunani bagian ini tidak memiliki kata kerja sama sekali. Para penerjemah mencoba menyisipkan kata kerja dalam terjemahan mereka supaya arti bagian ini lebih jelas. Mayoritas versi memilih untuk menambahkan kata “ada” (RSV/NASB/ESV “there is”). Makna yang disiratkan dalam terjemahan ini adalah sesuatu yang objektif. Di dalam Kristus memang ada penghiburan, dsb. Penerjemah NIV menyediakan opsi terjemahan yang lebih bebas, yang secara harariah berarti “karena kalian memiliki penghiburan melalui persekutuan dengan Kristus”. Makna yang ditekankan di sini lebih subjektif: pada apa yang sudah dialami oleh orang-orang percaya di dalam Kristus. Semua kebaikan di ayat 1 bukan hanya ditawarkan atau disediakan di dalam Kristus, tetapi memang sudah diterima oleh semua orang percaya. Semua itu sudah kita miliki di dalam Kristus. Ada banyak hal yang kita miliki di dalam Kristus. Dalam kaitan dengan kebersamaan, kita memiliki “nasihat, penghiburan, persekutuan roh, kasih mesra dan belas-kasihan”. Maksud Paulus sudah cukup jelas: semua yang kita perlukan untuk membangun kebersamaan sudah kita terima di dalam Kristus. Meminjam ungkapan Paulus sebelumnya di 1:27 tugas kita hanyalah berdiri teguh di atas kesatuan roh. Kebersamaan itu sudah ada. Kita semua bahkan sudah diletakkan ke dalam kebersamaan itu. Tugas kita adalah tetap berada di sana. Di suratnya yang lain Paulus menyebutkan minimal 7 kebersamaan/ kebersatuan: satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa (Ef. 4:4-6).

Lebih lanjut Bentuk kebersamaan yang diinginkan oleh Paulus dapat diringkas ke dalam satu kalimat: mengedepankan orang lain. Kita harus memandang orang lain lebih utama daripada diri sendiri (ayat 3b) dan kita harus memperhatikan kepentingan orang lain (ayat 4b). Nah, si situlah persoalannya. Natur berdosa dalam diri manusia tidak mencondongkan hati kita pada keutamaan dan kepentingan orang lain. Ke-AKU-an lebih ditonjolkan. Diri sendiri selalu dijadikan pusat sorotan. Bukan kebetulan kalau Paulus menempatkan perintah untuk mengedepankan orang lain (ayat 3b dan 4b) sesudah dia memberikan larangan untuk menghindari keegoisan (ayat 3a dan 4a).  itu berarti yang harus dilihat lebih dahulu adalah diri sendiri. Yang perlu diperangi dan dibenahi adalah diri sendiri. Pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa persoalan terbesar dalam hubungan adalah diri sendiri. Anehnya, banyak orang justru sering menyalahkan orang lain. Bagaimana kita bisa menganggap orang lain lebih utama daripada diri sendiri (ayat 3b)? Jawabannya adalah kerendah-hatian. Jadi, pertempuran terbesar terletak pada diri sendiri dan terjadi di dalam pikiran.

Kebenaran ini bertabrakan dengan sifat alamiah manusia yang sudah tercemar oleh dosa. Kita biasanya baru bisa menghargai orang lain kalau orang lain memiliki sesuatu yang melebihi kita. Kita lebih mudah merendahkan diri di depan mereka yang memiliki keutamaan. Tidak heran, kita sukar untuk bersikap rendah hati di depan semua orang.

Keutamaan orang lain dimulai dari perendahan diri kita sendiri. Secara lebih khusus, kita benar-benar menyadari kerendahan kita. Semua yang kita miliki kita terima dari Tuhan. Semua adalah anugerah. Tidak ada yang perlu dibanggakan. Pikiran seperti ini akan menghindarkan kita dari pencarian kepentingan diri sendiri atau pujian yang sia-sia (LAI:TB, ayat 3a). Kata “kepentingan diri sendiri” (eritheia) lebih mengarah pada ambisi (NIV) atau persaingan (ESV). Kata “pujian yang sia-sia” (kenodoxian) mengandung arti “kehormatan yang kosong” (KJV). Dua hal ini harus terus-menerus diperangi dengan kerendahan pikiran; pikiran yang selalu dikuasai oleh kasih karunia. Tidak ada ruang bagi persaingan dan pencarian pujian di dalam hati yang sudah dirembesi oleh kasih karunia ilahi.

Bagaimana kita bisa memperhatikan kepentingan orang lain (ayat 4b)? Dengan menghindari kebalikannya. Maksud Paulus, kita tidak boleh terus-menerus memperhatikan kepentingan diri sendiri. Kata “memperhatikan” (skopeō) di sini bukan sekadar melihat sesuatu. Memperhatikan berarti mengamati  atau berfokus pada sesuatu. Pada saat kita mencermati suatu objek, kita tidak akan bisa melihat objek-objek yang lain. Demikian pula jika kita selalu mencermati kepentingan diri sendiri, kita tidak akan mampu melihat kepentingan orang lain. Jadi, kita tidak dilarang untuk melihat kepentingan diri sendiri, tetapi jangan jadikan itu sebagai fokus yang terus-menerus sehingga kita menjadi abai terhadap yang lain.

Dengan demikian, Melalui pembacaan kita pada hari ini, Firman Tuhan ingin mengajak kita untuk senantiasa memelihara kebersamaan dengan mengedepankan orang lain  karena itu merupakan representasi dari iman kita terhada Kristus dan hal ini tentunya sejalan semangat kebangsaan yang tersemat pada pancasila oleh karena itu marilah kita tunaikan panggilan kita sebagai cendekiawan kristiani berperadaban Indonesia dengan menjunjung semangat kolektivitas seperti harmoni yang senantiasi hadirkan simfoni.

Tuhan memberkati Firmannya dan Memberkati kita.

Penulis : Jekson Berdame, M.Th

Categories: Berita IAKN